Sang pacar itu selalu di sana
kapan saja gadis buta itu membutuhkannya.
Si gadis berkata kepada pacarnya, “Seandainya aku dapat melihat, aku
akan menikahimu.”
Suatu hari seseorang menyumbangkan sepasang matanya kepada gadis buta itu. Para ahli bedah mencangkokkan mata itu. Pada waktu pembalut yang menutupi matanya sudah boleh dibuka, gadis itu sekarang dapat melihat semuanya termasuk pacarnya tadi.
Sang pacar bertanya
kepadanya, “Sekarang setelah kamu dapat
melihat dunia ini, maukah kamu menikah
denganku?”
Si gadis menatap wajah pacarnya
dan menyadari bahwa ternyata laki-laki itu buta. Kelopak
matanya tertutup dan kenyataan itu mengejutkan si gadis. Ia tidak menyangka bahwa pacarnya seorang
yang buta. Pemikiran memiliki suami buta
seumur hidupnya membuat si gadis menolak untuk menikah dengannya.
Pacarnya itu pergi dengan
menangis. Beberapa hari kemudian ia
menulis sebuah surat pendek kepada gadis
itu. Surat itu berbunyi, “Jagalah baik-baik matamu itu, kekasihku.
Karena sebelum kedua mata itu menjadi milikmu, mata itu adalah mataku.”
Jemaat!
Beginilah sering cara berpikir
otak manusia apabila status mereka berubah lebih baik.
Hanya sedikit saja orang yang ingat
bagaimana kehidupan dia sebelumnya dan siapa yang selalu ada di sisinya pada
saat dia sedang sengsara.
Mungkin kita termasuk orang-orang
percaya yang tatkala berada dalam kesukaran hidup, berseru dan berdoa siang
malam kepada Tuhan Yesus. “Tuhan, tolonglah saya!”
Tetapi setelah Tuhan tolong dan
sekarang hidupnya menjadi lebih “enak”, jarang
sekali mau menemui Tuhan lagi
dalam doa, pembacaan Alkitab, waktu teduh pribadi, atau mengucap syukur.
“Haleluya” kita yang dulu begitu gencar, sekarang sudah berubah menjadi “halelupa." Kata pribahasa, ibarat kacang lupa pada kulitnya.
Semoga kita tidak demikian adanya.
Kiriman dari: Constance Ng.
<>
terharu :(
BalasHapus