Jemaat Kristus dan Warisan Hidup


Baru-baru ini saya mengikuti upacara peringatan kehidupan ayah saya. Ia meninggal dunia pada usia 90 tahun.

Sungguh suatu keberuntungan besar menyadari warisan yang ditinggalkannya! Bukan warisan harta benda, melainkan warisan rohani.

Ketika anggota-anggota keluarga dan teman-teman saling menceritakan pengaruh yang mereka alami dari kehidupan ayah saya, kami semua jadi sangat mengetahui bahwa prioritas utama ayah ialah kerajaan Allah.

Bahkan para pengurus pemakaman tidak beranjak dari tempat duduknya selama dua jam penuh acara di dalam gedung gereja itu.  Di akhir acara dengan heran mereka berkata, “Kami belum pernah menjumpai pemakaman seperti ini!” Mau tak mau saya bertanya pada diri saya sendiri, “Warisan apa yang akan saya tinggalkan?”
 
Prioritas Dalam Kitab Hagai

Umat Tuhan pada zaman nabi Hagai lebih suka membangun rumah-rumahnya sendiri dan dipapani dengan baik dari pada membangun kembali Rumah TUHAN (Bait Allah) yang runtuh. Mereka berkata, “Ah … belum waktunya membangun Rumah TUHAN.”

Ini adalah masalah prioritas.
Di mana mereka akan menanamkan uangnya? Di mana pusat perhatian mereka? Apakah dipusatkan untuk membuat hidup lebih nyaman dan aman? Atau, difokuskan bagi kemuliaan Allah?

Mereka bisa memilih. Membangun bagi diri sendiri, atau membangun bagi kerajaan Allah --- yaitu dengan batu-batu hidup. Resesi ekonomi akhir-akhir ini menyadarkan kita bahwa tidak ada jaminan keamanan di dalam menumpuk keuntungan materi bagi diri sendiri saja.

Firman Tuhan dalam kitab Hagai, “Kamu menabur banyak, tetapi membawa pulang hasil sedikit … dan orang yang bekerja untuk upah, ia bekerja untuk upah yang ditaruh dalam pundi-pundi yang berlobang! … Kamu mengharapkan banyak, tetapi hasilnya sedikit.” Perkataan ini tetap relevan baik di tahun 2010 maupun pada tahun 520 S.M. Baik diucapkan oleh para ahli ekonomi di abad 21 ini maupun oleh nabi Hagai di zaman kuno.

Investasi Yang Tak ‘Kan Lenyap

Seorang bernama CT Studd berbaring mendekati kematiannya dalam gubuknya yang kecil di Kongo, Afrika. Anak perempuannya, Pauline, sedang menjenguk dia untuk terakhir kalinya.

“Pauline,” kata mantan millioner itu. “Sebenarnya ayah ingin memberikan sesuatu kepadamu sebelum ayah mati. Tetapi ayah benar-benar tidak punya apa-apa lagi karena semuanya telah ayah berikan kepada Yesus bertahun-tahun yang lalu.” Satu-satunya milik dia hanya tinggal panci masak, beberapa buah buku, dan sebuah banjo.

Barangkali komentar kita terhadap CT Studd ialah,  “Seorang ayah yang tidak bertanggungjawab!” Ia praktis tidak meninggalkan apa-apa yang berharga bagi anak-anaknya.

Tetapi marilah kita lihat pengaruh apa yang sudah ditinggalkan oleh kehidupan orang ini. Seratus tahun kemudian badan misi yang didirikan oleh CT Studd, WEC International, tumbuh berkembang dengan baik. Sebagai akibat dari iman dan pengorbanan CT Studd, ribuan orang lainnya termotivasi untuk menanamkan hidupnya bagi kerajaan Allah.

Melalui misi WEC, ribuan misionari terus memperkenalkan kasih dan anugerah Allah di dalam Yesus Kristus kepada mereka yang belum terjangkau di seluruh dunia. Prinsip-prinsip dari CT Studd dalam melayani Tuhan-nya ditiru oleh banyak badan misi lain.

Bagaimana dengan anak-anak CT Studd?
Kepada anak-anaknya CT Studd meninggalkan sebuah warisan hidup yang dengan limpah mempengaruhi kehidupan mereka bagi kerajaan Allah.

Keempat anak perempuannya semua menikah dengan orang-orang yang kemudian memegang peranan penting dalam dunia misi. Pauline melayani selama 40 tahun bersama suaminya Norman Grubb mengembangkan misi WEC. Edith menikah dengan Alfred Buxton, yang sebelumnya melayani di Ethiopia dan kemudian menjadi tokoh bidang misi di Inggeris. Dorothy menikah dengan Gilbert A.Barclay yang menangani kantor WEC di London selama bertahun-tahun. Grace bersuamikan kolonel Munro yang juga memiliki peranan penting dalam misi WEC.

Warisan apa yang akan saya tinggalkan?

Kembali ke ayah saya.

Semasa hidupnya ayah sangat rajin mendukung pelayanan misi. Di dalam laci di samping tempat tidurnya di mana ia meninggal dunia terdapat beberapa miliknya yang paling berharga. Dua buah Alkitab favoritnya, beberapa buku lain, dan sebuah buku yang telah lusuh berisi biografi salah seorang pahlawan ayah : CT Studd !

Warisan CT Studd hidup terus.   Warisan apa yang akan kita tinggalkan?

Disarikan dari tulisan: Jon Chamberlain (ex. misionari di Indonesia), IN TOUCH, Singapore. <>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar